Keindahan jiwa seorang mukmin akan semakin lengkap, di saat ia memperoleh karunia dari Allah berupa rezeki yang halal. Yang demikian itu, karena itu segera mensyukuri kenikmatan tersebut. Sehingga dengan syukur tersebut, kenikmatan Allah yang dikaruniakan kepadanya semakin bertambah dan melimpah.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Qs Ibrahim: 7).
Bukan hanya bersyukur, sebagai seorang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, ia akan menggunakan kenikmatan dalam jalan-jalan yang dibenarkan dan mendatangkan kebaikan. Kebaikan bagi dirinya, keluarga masyarakat dan agamanya.
(نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ. (رواه أحمد وصححه الألباني
“Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang shalih.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani).
Saudaraku! Ketahuilah, bahwa di antara wujud nyata dari iman kita kepada Allah Ta’ala ialah dengan senantiasa mengingat Allah Ta’ala setiap kali menyaksikan sesuatu yang menakjubkan. Orang yang benar-benar beriman akan senantiasa ingat Allah, lalu memuji-Nya setiap kali ia mendapatkan kenikmatan atau menyaksikan kenikmatan. Di antara bentuk pujian kepada Allah yang hendaknya kita ucapkan ketika menyaksikan kenikmatan ialah dengan mengucapkan
مَا شَاءَ الله
“Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud.“
Allah Ta’ala menceritakan kisah seorang kaya raya yang memiliki ladang subur dan penuh dengan buah-buahan. Pada suatu hari, ia bersama sahabatnya masuk ke dalam ladangnya. Menyaksikan ladang yang begitu subur dan buah-buahannya yang beraneka ragam, ia berkata, “Aku kira ladangku ini tidak akan pernah punah, ditambah lagi, hari Kiamat yang engkau ceritakan kepadaku tidak akan pernah tiba. Dan andaipun Kiamat tiba, niscaya aku akan mendapatkan kehidupan yang bahagia.” Mendengar ucapan ini, sahabat yang beriman tersebut menegurnya dengan berkata,
وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَدًا
“Dan mengapa tatkala memasuki kebunmu (dan terkagum karenanya), kamu tidak mengucapkan, ‘ Maasya Allahu, laa quwwata illa billah [sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah]’. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Qs. al-Kahfi: 39).
Ibnu katsir berkata, “Sebagian ulama salaf menyatakan, ‘Barangsiapa merasa takjub dengan diri, atau harta atau anaknya, hendaknya ia segera mengucapkan, ‘Maasya Allahu, laa quwwata illa billah‘. Dan ayat ini merupakan dasar bagi perkataan ini.’”
Pendapat ini juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَنْعَمَ الله عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً مِنْ أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ، فَيَقُولُ: مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، فَيَرَى فِيهِ آفَةً دُوْنَ الْمَوتِ. رواه أبو يعلى الموصلي بسند ضعيف
“Tidaklah Allah mengaruniakan kepada seorang hamba suatu kenikmatan, berupa anggota keluarga (istri), harta atau keturunan, lalu ia berkata, ‘Maasya Allahu, laa quwwata illa billah’, kemudian kenikmatan itu dapat ditimpa petaka selain kematian.” (HR. Abu Ya’la al-Mushily at-Thabrany, al-Baihaqy dan lainnya, dengan sanad yang lemah). Sanad Hadits ini lemah, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama di antaranya oleh as-Suyuthi, al-Munawi dan al-Albani.
Dan di antara bentuk pujian yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita ucapkan ketika kita menyaksikan kenikmatan ialah bacaan doa keberkahan. Memohon kepada Allah agar harta dan kenikmatan yang telah dikaruniakan kepada kita senantiasa diberkahi. Dengan demikian, kenikmatan tersebut akan mendapat keberkahan sehingga langgeng dan tidak mudah sirna.
Pada suatu hari, sahabat ‘Amir bin Rabi’ah radhiallahu ‘anhu melintasi sahabat Sahl bin Hanif radhiallahu ‘anhu yang sedang mandi di rawa atau sungai, spontan sahabat ‘Amir berkata, “Aku tidak pernah melihat kulit seputih ini, sampaipun kulit seorang gadis pingitan”. Tak lama kemudian sahabat Sahl tersungkur tak berdaya. Maka kejadian itu segera disampaikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dikatakan kepada beliau, “Segera selamatkan Sahl!” Maka, beliaupun bersabda, “Siapakah yang kalian curigai (telah mengenainya)?” Para sahabatpun menjawab, “’Amir bin Rabi’ah.” Rasulullahpun bersabda, “Dengan sebab apa salah seorang dari kalian hendak membunuh saudaranya?! Bila ia melihat suatu hal pada diri saudaranya atau pada dirinya sendiri atau harta bendanya, yang membuatnya takjub, hendaknya ia memohonkan keberkahan. Yang demikian itu dikarenakan ‘ain (pengaruh buruk pandangan mata-pen.) itu benar adanya.” Lalu Beliau memerintahkan sahabat ‘Amir untuk berwudhu, dengan membasuh wajah, kedua tangan hingga kedua sikunya, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya (atau bagian pinggang yang menjadi tempat menyimpulkan sarung-pen), kemudian beliau memerintahkan agar air bekas basuhan [Telah terbukti bahwa untuk mengobati orang yang terkena ‘ain dapat juga dengan mengambil barang yang pernah digunakan oleh orang yang mengenainya, misalnya piring, atau gelas, atau sendok, atau pakaian yang pernah ia gunakan. Walaupun yang paling sempurna ialah dengan cara yang disebutkan pada kisah Sahl ini.] tersebut disiramkan kepada sahabat Sahl. Seusai disiram dengan air tersebut, sahabat Sahl meneruskan perjalanannya bersama rombongan, seakan-akan tidak pernah mengalami gangguan apapun (kisah ini diriwayat oleh Imam Ahmad, an-Nasa’i, at-Thabrany, al-Hakim dan lainnya, serta dishahihkan oleh al-Albani).
Perlu diketahui, bahwa kedua sahabat di atas, yaitu ‘Amir bin Rabi’ah dan Sahl bin Hanif termasuk sahabat terkemuka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan keduanya termasuk yang (memiliki -ed.) andil dalam peperangan Badr (silakan baca biografi kedua sahabat ini dalam kitab al-Ishabah Fi Tamyizis Shahabah oleh Ibnu Hajar 3/198 dan 579), sehingga anggapan bahwa sahabat ‘Amir telah hasad atau menyimpan kedengkian terhadap Sahl bin Hanif tidak layak kita lakukan.
Yang layak untuk kita lakukan hanyalah berbaik sangka kepada mereka berdua dan mengatakan bahwa sahabat ‘Amir bin Rabi’ah radhillahu ‘anhu telah lalai untuk memohonkan keberkahan bagi sahabat Sahl atas karunia Allah Ta’ala berupa kulit yang putih nan bersih.
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Pengaruh ‘ain dapat terjadi ketika seseorang merasa ta’ajub/ kagum walaupun tanpa disertai rasa hasad, walaupun dari orang yang menyayangi korbannya, walaupun dari orang shalih. Dan orang yang merasa kagum terhadap sesuatu hendaknya bersegera mendoakan keberkahan untuk orang/ sesuatu yang ia kagumi, dan doa keberkahan itu akan menjadi penawar pengaruh ‘ain-nya.” (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 10/231, baca juga Bada’iul Fawaid oleh Ibnu Qayyim 2/457).
Ibnu Qayyim menjelaskan hubungan antara ‘ain dan hasad adalah sebagai berikut, “Orang yang menimpakan ‘ain dan orang hasad memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya; mereka berdua jiwanya terkondisi dan tertuju kepada orang yang diganggu. Orang yang menimpakan ‘ain, jiwanya akan terkondisikan di saat berjumpa dan menyaksikan korbannya, sedangkan orang hasad, kehasadannya dapat terwujud baik korban ada dihadapannya atau tidak. Perbedaan antara keduanya; orang yang menimpakan ‘ain dapat saja mengenai sesuatu yang ia tidak hasad kepadanya, misalnya, benda atau binatang, atau tanaman, atau harta, walaupun biasanya senantiasa disertai dengan sifat hasad pelakunya. Dan mungkin juga pengaruh matanya menimpa dirinya sendiri, karena pandangan matanya yang penuh rasa ta’ajub/ kagum dan tajam terhadap sesuatu, disertai jiwanya yang telah terkondisikan dengan keadaan kala itu, dapat mempengaruhi sesuatu yang ia pandang.” (Bada’iul Fawaid, 2/456).
Demikianlah salah satu dampak negatif yang mungkin terjadi bila kita lalai untuk memohonkan keberkahan kepada Allah, untuk kenikmatan yang ada pada saudara kita atau bahkan pada diri kita sendiri.
Bila Anda bertanya, “Bagaimanakah proses terjadinya pengaruh ‘ain dapat terjadi?” Maka para ulama memiliki beberapa penafsiran dan jawaban atas pertanyaan ini, akan tetapi -menurut hemat saya- pendapat yang paling kuat ialah pendapat berikut: Bila seseorang ta’ajub terhadap suatu hal, sampai-sampai menyebabkannya lalai bahwa hal yang mengagumkan itu adalah karunia Allah. Maka, kadang kala Allah menimpakan petaka pada hal yang mengagumkan tersebut. Ini semua terjadi agar orang yang beriman kembali sadar, bahwa ini semua (sesuatu yang menakjubkan dan petaka yang menimpanya) terjadi atau kuasa Allah (Mirqatul Mafatih oleh Ali al-Qary, 14/14).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A
Artikel www.PengusahaMuslim.com